Jumat, 08 Juni 2012

Syukuran Setahun Komunitas Perupa Kota Tua

Istana Bogor menjelang sore (foto: sugeng)
Setahun perjalanan...

Minggu, 24 April 2011 silam, adalah awal pembentukkan Komunitas Perupa Kota Tua (KOTA). Dengan dihadiri sekitar 25 orang yang terdiri dari perupa dan beberapa penulis, kami membentuk sebuah organisasi dengan misi yang sederhana namun dibarengi dengan visi yang luar biasa. Hal itu sudah terjadi setahun yang lalu dan dilewati dengan berbagai cerita.

24 April 2012 tepat satahun perjalanan, Komunitas ini, sedang sibuk mempersiapkan karya sebagai partisipasi Pameran Besar Seni Rupa Manifesto #3 di Galeri Nasional Indonesia. Sehingga acara syukuran baru bisa terlaksana tgl 3 Juni 2012 di Kebun Raya Bogor. Terlambat memang.... namun esensi dari syukuran 1 tahun perjalanan Komunitas ini tidak hilang begitu saja. 

Foto bersama menjelang pulang      (foto: wawan)
Evaluasi dan penerungan lebih mendominasi acara ini. Setahun bukan waktu yang cukup untuk terbentuknya organisasi yang mandiri. Namun ada banyak hal yang telah dilakukan komunitas ini sesuai dengan visi dan misinya. Puji Syukur atas bimbingan yang Maha Kuasa sehingga komunitas yang bertujuan mulia ini tetap berdiri kokoh meskipun ada sandungan akibat kerikil-kerikil kecil di setiap perjalannya.

Hasil evaluasi bersama menghasilkan sebuah catatan-catatan kecil yang segera akan dibenahi dan diperbaiki. Dibarengi dengan perenungan akan langkah-langkah yang telah dilakukan juga telah membuahkan sebuah harapan di masa mendatang sehingga kami dengan anggota yang ada tetap optimis dan semangat.

Kehadiran Toto Skest dan Arifin merupakan sebuah dukungan bagi Komunitas Perupa Kota Tua untuk tetap semangat. Dan kami yakin bahwa 2 orang itu adalah hanya sebagian kecil dari dukungan kalangan seniman, masih banyak lagi dukungan yang mungkin tidak terucap secara eksplisit.

Nasi Tumpeng hanya sebuah tradisi....

Tumpeng 1 tahun KOTA
Acara ini diawali dengan do'a bersama dan dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng oleh Ketua Komunitas Achmad Syahri. Potongan pertama secara simbolik diserahkan kepada Pembina Komunitas Tri Sabariman. Semula acara ini akan dihadiri oleh H. Diyen (salah satu Pembina Komunitas) namun beliau tidak bisa hadir karena ada kegiatan lain. 

Tumpeng hanyalah sebuah tradisi dan bukan sesuatu yang harus. Tumpeng dengan makna filosofi yang tersirat didalamnya sangat baik untuk kita renungkan bersama. Tumpeng yang berbetuk kerucut seperti gunung melambangkan sebuah harapan dan nasi yang berwarna kuning melambangkan kejayaan, dan lauk pakuk yang mengelilingi tumpeng sebagai eimbol kebersamaan dan gotong royong, itu hanya sebagian kecil dari filosofi tentang tumpeng. Karena tumpeng ini tidak dimaksudkan untuk ritual dan hanya seremonial maka filosofinya disederhanakan saja.

Pemotongan Tumpeng
Penyerahan pucuk tumpeng kepada Pembina Komunitas


Setelah pemotongan tumpeng, dilajutkan dengan kesan dan pesan dari Ketua dan Pembina Komunitas serta para pengurus dan anggota lainnya. Cukup sudah kami berbicang-bincang sambil menikmati nasi tumpeng, acara dilanjutkan dengan pembuatan sketsa dengan objek sekitar Kebun Raya Bogor, Seluruh peserta acara ini memilih lokasi sesuka hatinya.

Menjelang sore kami berkumpul kembali ke lokasi semula. Karya sketsa dikumpulkan dan di jejerkan di pinggir jalan sekitar danau di depan Istana Bogor. Tidak sedikit pengunjung yang lewat dan berhenti untuk sekedar mengamati apa yang dilakukan oleh anggota komunitas. Dalam kesempatan ini Toto Skets sengaja beraksi membuat sketsa wajah Ajul Jiung dan banyak pengunjung yang terkagum-kagum menyaksikan kelihaian tangan Toto Skets dalam menggoreskan pensil.

Itulah sedikit cerita tentang kegiatan Komunitas Perupa Kota Tua dalam rangka syukuran 1 tahun perjalanan komunitas. Semoga kegiatan ini dapat bermanfaat terutama dalam rangka meningkatkan apresiasi seni dalam masyarakat. Bravo dan tetap semangat! (Estu) 


Baru sekedar bergaya hasil liat nanti

Sana Rosdiana disket oleh Toto Skets

Hasil Sketsa di Pamerkan

Ajul Jiung dan Toto Skets

Pengunjung antusias melihat aksi Ajul Jiung







Minggu, 22 April 2012

Difference & Relation


Karya Komunitas Perupa Kota Tua dalam Pameran Besar Seni Rupa
Manifesto #3 2012 : ORDE & KONFLIK
Ko-eksistensi di tengah pluralism (problematika) sosial

Karya : Komunitas Perupa Kota Tua, Judul : Difference & Relation, Ukuran : 560 X 290 Cm (90X60 Cm X 24 Panel),
Media : Mix Media Tahun : 2012
   

Atau bisa juga dikatakan, dan kita memang setuju dikatakan dalam pengantar kuratorial sebagai, “keadaan dari suatu hubungan dan (atas) perbedaan” (difference and relation). Dan dari dasar intensi itu pula yang hakekatnya mendasari dari terbentuknya Komunitas Perupa Kota Tua (Kota) vis a vis begitu pula idea penciptaan masing-masing (perbedaan) individu di dalam (hubungan) kerja (yang telah mengalami) karya kami yang saling keterkaitan (tanpa tekanan akan himpitan persamaan). Dan sesungguhnya hal itu memang sudah menjadi nafas dan atmosfir dari medan penciptaan dari setiap individu seniman perkotaan disadari maupun tidak, di mana problematika sosial yang konkrit maupun absurd baik yng dinyatakan maupun disublimkan tetap ada dalam kanvas-kanvas mereka. Belum lagi bagaimana harus  jungkir-baliknya individu setiap seniman perkotaan di dalam mengatasi persoalan hidup di tengah himpitan sosial yang semakin sulit dan menjadi-jadi ini, yang nihil dan jauh dari segala bantuan pemerintah dan juga dari godaan untuk menyesuaikan (diri dan penciptaan) pada homogenitas ideom arus seni rupa yang (kon) temporerkan (yang mudah- mudahan tanpa mati seketika), di mana imamnya adalah para kurator, tempat peribadatannya adalah galeri, sedangkan pembagi pahalanya para snobis.

Dan salah satu bentuk pertahanan yang mungkin adalah (membentuk) komunitas di  mana tempat berkerumunnya (jama’ah) para identitas semata untuk berbagi kegelisahan kreatif, dan bentuk pertahanan yang lain adalah menjadi sama sekali gila yang menyendiri (sufi dan ronin) dan sesekali menyerang publik bertubi-tubi dengan elan-kreatif karya yang jauh dari persamaan akan kesepakatan para amstenar yang seakan-akan avant-gardis itu. Sedangkan bentuk pertahanan individu senimannya yang lain terutama terdapat dalam perilaku sehari-hari yang seakan-akan bak seorang pelawak yang sering suka ngebanyol dan pemikir yang sering suka merenung yang sibernetiknya adalah suatu cara untuk mengatasi segala tegangan-tegangan yang diberikan oleh keadaan realitas sosial yang semakin meninggi, menjadi-jadi, dan semakin gila (absurd) ini. Realitas konflik harus dirangkul dan disublimkan dalam relung setiap pribadinya, dan diharmonisasikan dalam monokromatik yang dikembalikan lagi kepada kebebasan untuk menafsirkan realitas sosialnya dan menakwilkan realitas batinnya sendiri. Dan semua hanya mungkin terjadi dan terjalin dalam kebersamaan yang universum di bawah ideokromatik yang Ilahiat siafatnya.

Dan dalam skema yang dikehendaki bersama bahwa setiap individu dikreasikan atau disatukan kembali menjadi satu konstruksi lukisan yang terkait antara satu dengan yang lainnya. Ini bisa merupakan metafora dari rasa kebersamaan yang  senambung tanpa harus kehilangan identitas dirinya. Dan kehilangan identitas adalah merupakan kehilangan segala yang  tak tertandai apapun. Sebaliknya, siapapun yang dapat menandai, maka dia bisa menjadi bagian dan mengabdi pada apapun, penyelamat lingkungan misalnya yang tentu juga menjadi bagian dari dirinya yang jauh dari sifat eksploitatif, tetapi dekat dan erat kaitannya dengan mengkreasi kembali ke dalam habituasi yang harmoni dan selaras.

Santoso Prisade  


24 Pelukis dari Komunitas Perupa Kota Tua berperan aktif untuk menghadirkan sebuah karya sebagai sumbangsih dalam Manifesto #3 Tahun 2012 yang diselenggarakan oleh GalerI Nasional Indonesia, 26 April s/d 10 Mei 2012. 

24 Pelukis tersebut antara lain : Tri Sabariman, Tri Yuli Prasetyo, Sahat Simatupang, Bambang Sutrisno, Santoso Prisade, Achmad Syahri, Casjiwanto, Sugeng Eka Pangestu, Marwan Abdullah, Sahuri, Tb. Tajul Arifin, Sana Rosdiana, Tun Abdul Muluk, Tubagus Patoni, Wawan Rahmawan, Safrudin, Ahmad Nasrullah, Khotibul Umam, Agus Sulaiman, Dasep Abdillah, Randy Febrian, Husni Abdurahman, Didin Wahyudin, dan Mulyati.

Senin, 31 Oktober 2011

BEDAH KARYA

Menikmati Lukisan Figuratif
karya MARWAN ABDULLAH

Ketertarikan terhadap perempuan dan kehidupannya tertangkap dari karya-karya Marwan Abdullah. Lukisannya konsisten dengan tema kehidupan perempuan terutama perempuan masa kini. Karya-karya Marwan Abdullah bercorak gemerlap dengan warna-warna kontras dan menggairahkan.

Kehidupan perempuan masa kini baginya adalah suatu hal yang menarik yang wajib untuk diabadikan dalam bentuk karya seni. Perempuan masa kini bukan lagi dianggap sebagai objek semata, namun telah masuk kedalam ruang bathinnya. Intuisinya mengalir tatkala sebidang kanvas dan seporsi cat acrilyc tertuang di atas sebuah palet. Perlahan-lahan namun pasti, tangannya menyapu habis lembaran putih itu dengan warna-warna yang didominasi warna primer, sapuan kuasnya dengan spontan membentuk figur-figur perempuan-perempuan masa kini yang telah terekam di dalam ruang bathinnya.

Mari kita coba menikmati satu persatu karya Marwan Abdullah ini, dengan fikiran yang sederhana namun kita harus berselancar lebih jauh untuk dapat menyentuh alam fikiran sang pelukisnya. Bentuk figur yang telah disederhanakan mengajak kita untuk menikmati karya visual  ini dengan mudah, sebab Marwan Abdullah telah menyajikannya dengan gamblang dan jelas. Tanpa harus meminta sang pelukisnya untuk bercerita panjang lebar tentang konsep berkaryanya. Kita tangkap dulu saja apa yang terpampang dan tersaji, kemudian baru kita sedikit merenung untuk menangkap pesan apa yang ingin disampaikan oleh sang pelukis.



Pelukis lulusan IKIP Jakarta ini setidaknya terpengaruh dengan aktifitasnya pada saat masih menjadi mahasiswa. Karikatur sebagai pilihan hatinya dalam beraktifitas membuat sang pelukis ini mengenal betul akan bentuk anatomi manusia terutama anatomi wanita. Baginya bukan sesuatu yang luar biasa untuk menggambarkan bentuk tubuh manusia sekali gus ekpresi wajah yang ingin dia tampilkan.

Lukisan ini bisa dibilang sebagai Modern Arts, semua ini karena pilihan tema, bentuk dan warna yang sedikit memberontak dari kaidah-kaidah seni murni yang ada selama ini. Demikianlah sedikit ulasan tentang karya lukis Marwan Abdullah, semoga dapat memperbesar apresiasi masyarakat terhadap Seni Lukis. Untuk Marwan Abdullah janganlah berhenti berkarya, tetap semangat dan makin kreatif! Selamat menikmati...... (pangestu69@gmail.com) 

Jumat, 28 Oktober 2011

ARTIST GOES TO SCHOOL

Salah stu misi dari Komunitas Perupa Kota Tua adalah membangun karakter berkesenian yang mandiri dan bermartabat. Banyak potensi yang dimiliki oleh anak-anak Indonesia, seperti yang tampak pada siswa-siswa sekolah Talenta-Jakarta. Sekolah ini adalah sekolah khusus dan peserta didiknya juga adalah anak-anak yang memerlukan kebutuhan khusus.

 

Ketika anggota komunitas mengunjungi sekolah ini, kami sangat kagum dengan hasil karya siswa-siswi sekolah ini. Lukisan karya mereka mempunyai karakter yang jelas dan murni. Karya mereka lebih memperlihatkan jati diri sedikit intervensi sehingga karya yang dihasilkan berbeda dengan karya anak-anak pada umumnya. Doktrinasi pengajar hampir tidak berlaku bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus ini. Memori di otaknya banyak menyimpan data sehingga perlu banyak penyaluran, itu sebabnya pengajar di sekolah ini hanya perlu menciptakan suasana enjoy agar siswa dapat dengan tenang mengungkapkan apa yang bertumpuk di dalam otaknya. (@pangestu69@gmail.com)





Minggu, 23 Oktober 2011

DISKUSI FILSAFAT SENI


Filsafat Spinoza 
dan proses berkarya Picasso



Picasso mengatakan “Alam lebih kuat dari pada manusia terkuat sekalipun” sementara Spinoza mengatakan ”Tuhan itu Alam, Alam itu Tuhan”.

            Picasso adalah seorang pelukis Kubisme yang banyak mengadopsi fikiran-fikiran Spinoza. Sedangkan Spinoza adalah seorang filosof dari kalangan Yahudi di Amsterdam, yang dibuang dari lingkungannya karena gagasan-gagasannya yang bertentangan dengan kaum Kristen dan Yahudi itu sendiri. Salah satu pernyataan adalah bahwa Kristen dan Yahudi hanya dihidupkan oleh dogma yang kaku dan ritual lahiriah.

            Atas dasar itulah kami Komunitas Perupa Kota Tua mencoba menelaah hal tersebut dengan pemikiran-pemikiran sebagai orang Timur dan mayoritas  pemeluk Islam, melalui sebuah acara diskusi yang merujuk pada filsafat Spinoza, Proses berkarya dam pandangan Picasso dalam tulisan Christian zervos.

            Diskusi Filsafat seni ini diadakan di sebuah tempat di daerah Condet - Jakarta Timur, pada Jum’at malam 10 Juni 2011 yang dihadiri lebih dari 20 anggota Komunitas. Hadir dalam kesempatan itu, Bambang Sutrisno yang merupakan salah satu tokoh pelukis Jakarta .

            Acara Diskusi di awali dengan pernyataan Pembicara   yaitu : “Ada sindiran yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih berbahaya dari alat-alat perang di tangan di tangan para Jenderal, tidak ada yang lebih berbahaya dari kuas di tangan pelukis, tidak ada yang lebih berbahaya dari pada keadilan di tangan para hakim. Mungkin kalau dilanjutkan relefansinya tidak ada yang lebih berbahaya dari pada sinetron di tangan produser dsb.”

            Seperti yang dikatakan Clive Bell, seorang filsuf seni modern, seni adalah Significant form (bentuk bermakna). Jadi sapuan kuas sang pelukis adalah interprestasi sebagian jiwanya yang dituangkan ke dalam kanvas,  dan ketika menjadi sebuah karya maka karya itu akan mempengaruhi pandangan hidup penikmatnya.

            Ketika Spinoza mengatakan “Melihat dengan perspektif keabadian” disitu jelas sedikit banyak Spinoza terpengaruh kitab-kitab suci keagamaan atau secara kebetulan pikirannya sedang menyerempet ke titik kebenaran yang hakiki. Walaupun sebenarnya Spinoza di saat yang berbeda menolak dogma-dogma kitab/keagamaan tertentu. Seorang Islam bisa merasakan bahwa dimanapun kamu menghadap disitu wajah Tuhan. dalam bahasa Tasawuf “Satu dalam penyaksian”

            Melukis tidak salah sejauh melihat dari perspektif keabadian,  relefansi dari pendapat Spinoza. Dalam proses berkarya Picasso, konvensi bukan yang nomor satu tapi spontanitas dulu, baru konvensi mengikuti. Ini ada kesamaan dalam konsep berkarya  Nasar (tokoh pelukis Indonesia). Nasar mengatakan “Non Teknik”, melukis dengan spontanitas begitu saja mengikuti intuisi, menghindari konvensi atau pertimbangan-pertimbangan pemikiran.

            Pertanyaanya : Ketika tangan pelukis bergerak menyapukan kuasnya kesana kemari secara spontan apakah bergerak begitu saja? Apa ada sesuatu yang menggerakkan? Kalau memang ada yang menggerakkan siapa dia? Apakah pelukisnya sendiri, apakah setan, ataukan yang Maha Perkasa dan maha Halus? Pengetahuan manusia terbatas, pengetahuan Tuhan tidak terbatas.


            Maka tidak semua apa yang di katakan seorang filosof adalah suatu, kebenaran Spinoza mengatakan alam adalah Tuhan, Tuhan adalah alam. Bambang Sutrisno  mengatakan : “Tuhan ya Tuhan , makhluk ya makhluk” (sesuai dengan surat Annas di dalam Al-Quran). Menurut Picasso yang tahu sejarah adalah Tuhan, manusia hanya menyusun sejarah. Kubisme  bukan diciptakan tapi sudah merupakan suatu  kecendrungan ungkapan yang ada di dalam diri. Picasso memulai melukis dengan spontanitas lalu konverensi (pertimbangan akal) mengikuti. Bentuk yang dibuat  ditutup dengan bentuk yang lain warna yang hadir ditutup dengan warna yang lain, begitulah seterusnya sampai sebuah karya dianggap selesai akan tetapi bentuk atau warna yang telah hilang sebenarnya tidak hilang namun hanya berpindah tempat itulah yang disebut kecenderungan jiwa. Menurut picasso dia menyelesaikan tulisannya dengan merusak bentuk awal atau warna awal dan seterusnya. Tapi menurut Bambang Sutrisno istilah yang lebih tepat sebenarnya Picasso bukan merusak bentuk akan tetapi membangun irama.

            Khalil Gibran mengatakan : “Ketika kita merasa bodoh disitu datang kemulian”. Dalam hal ini mungkin Picasso ingin bicara moral/kerendahan hati (Achmad Syahri Peserta diskusi) selanjutnya picasso mengatakan keindahan tidak ada di akademi, kalau mau mengerti seni dengarkan saja suara burung. Islam melarang kultus individu, dalam surat Al-Baqoroh Allah berfirman ”Sembahlah Tuhanmu sebagai mana kamu mengagung-agungkan nenek moyangmu”.

            Menurut Pembicara, manusia sangat suka mengagung agungkan nenek moyangnya yang pada akhirnya  sebenarnya ingin mengagungagungkan dirinya sendiri. Manusia itu misterius, ada hubungan makrokosmos, makrokosmos dan Tuhan. Tidak ada kultus individu, yang ada penghormatan sesama manusia. Begitu kata Bambang Sutrisno, hanya Tuhan yang patut dipuji dan di agungkan, mungkin itulah yang disebut dalam Islam ”Tauhid”. Pada akhirnya Picasso pun mengatakan ”kamu tidak mengerti apa-apa” (Karena semua pengetahuan milik Tuhan). Begitulah kalau kita memandang dari prespektif keabadian. Intuisi jadi bisa diatur, mereka yang menafsirkan lukisan lebih sering berada dijalan yang keliru. Tuhan lebih tahu soal akademis dari pada guru-guru akademis.     

            Dalam pandangan Islam seni adalah fitrah, yaitu pembawaan sejak seorang anak manusia lahir (Casjiwanto peserta diskusi). Tanggung jawab pelukis bukan sama galerinya atau apapun, tapi tanggung jawab pada yang maha tahu (perspektif keabadian). Picasso melukis dengan penemuan-penemuan baik bentuk, warna, dll. Picasso mengatakan “saya tidak menjual apapun pada diri saya” kalau dalam Islam mungkin artinya keikhlasan. Melukis dengan ikhlas tanpa pujian atau apapun. Sebagai Ilustrasi : ada seorang yang membuat perahu untuk menyebrangi sungai tapi karena bagusnya perahu sehingga kemanapun ia pergi perahu itu diseret-seret untuk dapat pujian.
            
        Abstrak dimulai dari sesuatu tapi sesuatu itu bisa nyata bisa juga keterangan. Kalau sesuatu yang di lukis berasal dari keterangan seperti firman Tuhan dalam kitab suci, berarti lukisan abstrak yang tercipta adalah abstraknya abstrak.

     Affandi dan Picasso sama-sama melukis dengan spontanitas ekspresinya, tapi dalam lukisan Affandi tidak ada penghilangan bentuk dan warna. Sedangkan pada lukisan picasso selalu ada penghilangan bentuk dan warna walau pun pada akhirnya bentuk atau warna yang hilang tidak hilang tapi hanya berpindah tempat. Itulah kecenderungan jiwa di akhir diskusi bambang sutrisno mengatakan : Filsafat adalah spekulasi sedangkan kitab suci adalah hukum Tuhan. Sepertinya membantah spinoza yang mengatakan “alam adalah Tuhan, Tuhan adalah alam. (sugeng eka pangestu)

PAINTING TOGETHER ALA "KOTA"

Painting together adalah kegiatan yang akan dilakukan secara berkala. Kegiatan ini sebagai wujud kepedulian terhadap apresiasi seni dalam masyarakat. Di Indonesia kegiatan outdor di bidang seni sangat jarang dilakukan, pameran lukisan dan kegiatan seni lainnya dilakukan di dalam ruangan dan terkesan eksklusive sehingga masyarakat umum tidak mudah dan enggan untuk mengakses kegiatan ini.

Kegiatan melukis bersama ini dilakukan di halaman Musium Sejarah Jakarta dan di adakan di hari Minggu, ini sengaja dilakukan pada saat tempat wisata ini banyak dikunjungi masyarakat. Kegiatan ini juga mendapat respon dari berbagai pihak, Majalah Eksekutif salah satunya yang telah meliput dan mempublikasikan kegiatan ini dan telah diterbitkan pada bulan Juni 2011.


Jumat, 27 Mei 2011

MENIKMATI SPONTANITAS SKETSA ACHMAD SYAHRI

Achmad Syahri

Tatapan mata dan gerakan tangannya terkadang tak pernah bertumpu satu titik dalam bidang kanvas. Ketika matanya menatap tajam objek lukisnya, maka diwaktu yang sama tangannya bergerak menuangkan apa yang dilihatnya melalui sapuan kuasnya. Hatinya yang telah mengatur kemana mata melihat dan kemana tangan bergerak.

Musium Seni Rupa & Keramik


Sapuan kuas besarnya biasanya mengawali ritual sketsanya dengan campuran air yang lebih, hasilnya sebuah lumuran cat dengan warna tipis dan transparan. Warna-warna muda dan cerah yang dipilihnya sebagai dasar sketsa maupun lukisannya mencerminkan suasana hatinya yang lebih terasa ceria dan tanpa beban. Sesuai dengan temperamennya yang mudah terlihat, dia lebih enerjik dibanding pelukis pada umumnya, sehingga sering terlihat seolah tanpa banyak berfikir untuk menciptakan sebuah karya.

Di setiap kesempatan, pada saat dia membuat sketsa ataupun melukis dapat kita bandingkan dia lebih cepat dibanding pelukis yang pernah saya temui. Sebenarnya bukan hal kecepatannya yang harus kita perhatikan namun lebih dari sebuah hasrat berekspresi yang menggebu-gebu yang dia simpan dalam bathinnya. Saya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai pelukis yang "super produktif". 

Pelabuhan Sunda Kelapa
Museum Seni Rupa & Keramik

Pelabuhan Sunda Kelapa
Tulisan ini bukanlah bahasa Kuratorial untuk mengkritisi atau memuji karya seseorang, tapi tulisan ini tidak lebih dari ungkapan hati sebagai sesama pelukis, lebih pas-nya ini hanya sebuah bahasa kekaguman. Ibarat sebuah Gunung, Achmad Syahri menyimpan banyak lahar panas yang harus segera dimuntahkan dalam bentuk karya. Good Job and Good Luck....sahabatku. (Sugeng Eka Pangestu)